"Ya Allah, berilah aku cinta-Mu dan cinta mereka yang mencintai-Mu, dan cinta yang membuatku mendekati-Mu, dan buatlah cinta-Mu lebih kucintai daripada air yang sejuk."
Itulah salah satu do'a yang konon pernah diucapkan oleh Rasulullah. Muhammad sampai sebegitu mengharap akan cinta?
Bagaimanakah cinta yang diinginkannya dan bagaimana cinta orang-orang yang mencintai Tuhan sehingga Muhammad begitu berharap untuk mendapatkannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang jelas, karena saat ini, pohon cinta seolah telah bercabang begitu banyak dan kita seringkali kebingungan untuk memilih yang mana.
Setiap hari di koran, majalah, layar kaca, lewat bibir para selebritis, politisi hingga mubaligh, kata "cinta" seringkali muncul dan menyerbu masuk dalam lorong kesadaran kita. Ada cinta kepada Tuhan, cinta tanah air, cinta kekasih, cinta ibu, cinta perubahan dan cinta-cinta yang lain. Begitu banyaknya kata "cinta" yang terdengar, namun cinta yang terlihat tampaknya tak sebanyak yang bisa terdengar. Cinta sebagai kata-kata telah menutup dan menyembunyikan dirinya di balik tabir yang begitu tebal.
Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi:
"Cinta akan membuat yang pahit menjadi manis. Dan dengan cinta, tembaga akan menjadi emas. Dengan cinta, yang keruh menjadi jernih. Dan dengan cinta, sakit akan menjadi obat. Dengan cinta, yang mati akan menjadi hidup. Dan cintalah yang telah menjadikan seorang raja menjadi hamba sahaya.
Dari pengetahuanlah cinta yang seperti itu tumbuh. Pernahkah kebodohan menempatkan orang di atas tahta yang seperti itu?"
Sajak Rumi di atas menunjukan betapa besar kekuatan cinta. Cinta ibarat kekuatan yang mampu merubah segalanya. Cinta adalah sifat manusia yang paling murni. Tuhan menciptakan Adam karena cinta, dan Adam membawa citra ketuhanan dalam dirinya. Namun patut dicatat bahwa cinta tak akan lahir tanpa sebuah pengetahuan. Pengetahuan tentang yang dicintai merupakan syarat mutlak karena cinta tak akan ada tanpa pengetahuan.
Dalam sebuah kitabnya, "Kasyf al-Mahjub" al-Hujwiri juga mengungkapkan : Bahwa cinta adalah hasil karunia Tuhan, "Andaikata dunia hendak meraih cinta, ia tak akan mampu dan andaikata ia akan menolaknya, ia juga tak akan kuasa, karena cinta itu suatu anugerah, bukan suatu hasil usaha. Cinta berasal dari Tuhan."
Cinta pada Tuhan seringkali dimaknai dengan kepatuhan untuk menjalankan perintahnya serta ketakutan untuk menerjang larangan-larangannya. Di sini, cinta sangat erat terkait dengan iman. Kepercayaan atau keimanan pada Tuhan membuat seorang sufi yang dirasuki atau mencari cinta Ilahi beriman kepada Tuhan dengan melakukan segala aturan yang sudah Dia tetapkan dalam kitab suci. Dalam diri pecinta, melakukan perintah-perintah Tuhan dan menyembah-Nya bukan lagi karena takut dengan siksa, tetapi lebih karena kecintaan yang begitu dalam kepada-Nya serta ketakutan akan terpisah dari-Nya.
Dalam hidupnya, seorang sufi selalu memandang inti dari sesuatu karena ketergantungan dan keterpedayaan akan bentuk luar seringkali membawa manusia jauh dari yang 'ada'. Seseorang seharusnya tidak terjebak dengan bentuk luar dari sesuatu karena itu hanyalah sesuatu yang tertangkap oleh indera. Padahal dalam semesta raya ini, hal yang tidak tertangkap oleh indera jauh lebih banyak dan manusia telah dikaruniai akal dan perasaan untuk menangkap dan memahami semua itu.
"Cinta orang yang sudah mati tidak akan abadi, sebab yang sudah mati tidak akan kembali.
Tapi cinta yang hidup lebih segar dari kuncup yang baru bersemi, baik bagi mata batin maupun lahir."
Pilihlah cinta yang hidup abadi, yang tak akan pernah berakhir, yang memberikan kita anggur yang menambah kekuatan jiwamu.
Nah, sekarang bagaimanakah dengan diri kita?
Cinta seperti apakah yang kita inginkan?
Jalan yang manakah yang kita tempuh untuk memperoleh cinta?
Semuanya kita kembalikan ke diri kita masing-masing.
Dikutip dari:
Hidayah, edisi Mei "2004.